Selasa, 17 April 2012

Aku mencintaimu karena Allah



Cinta,,,
Itulah yang aku rasakan semenjak pertemuan kita dulu,
Aku menjadi wanita yang paling bahagia saat kau memintaku untuk menjadi pendamping hidupmu,
Semula aku sangat ragu, bagaimana mungkin aku bisa menerimamu dengan pertemuan yang relatif singkat itu,
Tapi kau  terus meyakinkanku bahwa kau bisa menerimaku apa adanya,
Kau buat sebuah permisalan, ada 2 buah rumah yang kau beli dalam waktu yang  bersamaan. 1 rumah kau rawat dan sering kau jaga kebersihannya, sementara yang lain kau biarkan begitu saja hingga rumah itu akan usang.
Seperti itu juga kau ingin merawatku,
Aku berusaha meyakinkan perasaamku untuk bisa menerimamu, walau kita belumlah tahu satu sama lain,
Kumulai perjalanan itu dengan bismillah,
Kurasakan kebahagiaan itu, kau begitu perhatian padaku,
Tapi hari demi hari kulalui,
Ku merasa sendiri,tapi aku berfikir mungkin kau sibuk dengan tugasmu,
Aku menyapamu, tapi jarang sekali kau balas. Lagi-lagi akuberfikir kalau kau sibuk sehingga aku tak ingin mengganggu.
Aku kangen ka,
Itu yang sering aku lontarkan padamu,
Kupendam rasa rindu itu, kupendam rasa sepi itu, kupendam rasa gundah itu,
Cemburu,
Ya terkadang aku merasakannya, ketika aku disampingmu begitu sibuk kau balas pesan-pesan yang masuk,
Sementara pesanku ?
Kita dalam satu ruangan, aku tersenyum
Tapi kau hanya lewat seakan aku tidak ada
Profesionalisme ?
Ya, mungkin itu yang ingin kau tunjukkan,
Tapi jujur aku merasa tak dianggap ada.
Aku kubur dalam-dalam perasaan itu,
Aku sakit,
Aku tak ingin kau tahu apa yang terjadi padaku,
Dengan fikiran aku tak ingin membuatmu khawatir,
Tapi dengan mudah kau menganggap bahwa aku sudah bosan padamu,
Sering kita berbeda persepsi hingga menimbulkan pertengkaran  yang dahsyat,
Kau memarahiku, membentakku, bahkan mengusirku di depan teman-temanmu,
Aku ingin sekali menangis, ta pi kutahan air mata itu sampai dada ini sakit
Aku diam, aku bicara sama saja aku salah dihadapanmu,
Aku tak tahu, apakah memang benar kalau aku yang selalu menyebabkan permasalahan itu ?,
Tapi aku tak akan melawan,
Aku menerima kalau itu kesalahnku,
Permintaan maaf sudah sering aku lontarkan,
Sampai kau bilang bahwa kau begitu bosan untuk memaafkanku,
Orang lain menganggap betapa bodohnya aku, karena tetap bertahan dengan orang yang mereka anggap egois
Sering aku mendengar kalau kau bersama dengan wanita lain,
Tapi aku tampik kabar itu, aku yakin kalau kau tidak akan mengkhianatiku
Aku merasa kalau aku berusaha memenuhi kebutuhanmu,
Aku selalu berusaha ada disaat kau membutuhkanku, walau dengan segelumit tugas yang harus aku kerjakan,
Tapi aku memilih untuk ada disampingmu,
Suatu saat kau bilang kalau aku tidak pernah memprioritaskanmu ?
Apa buktinnya ?
Saat kau sakit aku berusaha merawatmu,
Saat kau bilang ingin bertemu aku berusaha datang,
Aku tak ingin menjadi orang yang perhitungan
Aku mencintaimu dengan tulus dan ikhlas,
Sehingga apapun yang menimpaku aku berusaha menghadapinya dengan sabar
Aku ingin tahu, sapmpai mana aku bisa sabar dengan semuanya…?
Alhamdulillah akupun tidak menyangka kalau masih bisa sabar dengan semua ini,
Kau akan pergi,
Itu kabar yang kau berikan padaku,
Aku sangat berat kau melepaskanmu, tapi karena itu tugas aku tak bisa membantah,
Entah kenapa hati ini begitu gelisah, gundah dan cemas,
Aku melepasmu dengan iringan do`a,
Semoga Allah menjagamu, senantiasa memberimu kesehatan, dan mengembalikanmu kesisiku dengan selamat.
Ya Rabb, aku menantinya…
Dalam penantianku, senantiasa dalam langkahku do`a terlontar untukmu,
Kujaga kehormatanku dan kehormatanmu,,,,
Selayak seorang istri yang menjaga kehormatan suami dikala dia tidak ada.
Semoga ketika kau kembali bisa melihatku dengan penuh kerinduan,
Menyapaku dengan hangat dan disertai senyuman yang tulus,
Memanjakanku,
Begitu indahnya khayalan itu,
Aku menantimu ka disini,
Kulihat tanggal itu, kulihat pesan-pesan yang penuh dengan kemanjaan,
Aku tersenyum,
Aku tak sabar menanti pertemuan denganmu,
Tapi perasaan ini tiba-tiba menjadi sakit,
Apakah kau sakit disana ?
Kau bilang kau sedang tidak enak badan,
Aku menangis,
Betapa tidak bergunanya aku,
Lagi-lagi semua kuserahkan pada sang Illahi,
Ku mengadu, ku berharap, dank u meminta,
Alhamdulillah kau kembali dengan sehat dan selamat
Betapa Agungnya Engkau ya Rabb,
Kau mengabulkan do`aku,,,
Detik-detik pertemuan itu begitu tak sabar aku nanti,
Aku ingin kembali disampingmu,


Tapi malam itu,
Sungguh sangat mengejutkan, selama  ini aku mencintaimu dengan tulus tapi kau bilang bahwa belum bisa menerima kehadiranku,
Secara tidak langsung, kau hanya pura-pura mencintaiku
Kau bilang kau trauma oleh mantan-mantanmu
Karena mereka pergi darimu
Dan kau sakit hati,
Kau mengujiku ?
Pernahkah kau tahu betapa sakitnya hati ini ? tapi aku selalu tersenyum dihadapanmu,
Demi membuatmu bahagia dan selalu tersenyum,
Tanpa aku memperdulikan betapa sakitnya hati ini,
Aku yakin Allah yang akan membalas atas semua ini,
Aku akan tetap sabar dengan semua ini, aku yakin suatu saat engkau akan berubah
Kembali kepada suatu kebenaran,
Tak sedikitpun aku membayangkan kau akan pergi,
Aku menangis ka,
Pernahkah kau mengusap air mata itu ?
Air mata itu terus saja mengalir
Aku menanti,
Tak sedikitpun aku ridha orang lain bicara yang negatif tentangmu,
Sakit hatiku saat mereka bilang seperti itu,
Mungkin kau bilang biarlah mereka bicara seperti itu, nanti Allah yang akan menegur mulut mereka,
Tapi bagaimana mungkin mereka akan diam ? sementara engkau terus melakukan apa yang mereka ucapkan,
InsyaAllah aku akan tetap bersamamu,
Menemanimu dalam setiap langkahmu, walau aku sering kau tinggalakan
Tapi aku mengerti karena itu tugas yang harus kau laksanakan
7 Agustus 2011
Malam itu,
Aku masuk rumah sakit,
Tak kuasa aku menahan rasa sakit itu,
Kau datang tepat jam 23.30, saat ada kakakmu disana
Aku bilang tak apa-apa kau  tidak datang
Temani saja kakakmu,
Aku akan baik-baik saja,
Tapi tak kusangka, semua begitu sakit
Kau membawaku ke Rumah Sakit Hasan Sadikin
UGD...
Itulah kamarku sekarang, untuk melakukan serangkain tes.
Aku terharu dan bahagia,,
Aku menngguiku sambil terus menggodaku,,
Sore itu,
Ma`af kalau aku lancang...
Saat kau mandi dan menitipkan hp mu,
Tah kenapa, aku ingin sekali melihat apa saja yang ada di hpmu..
Pertamanya, aku Cuma lihat musik dan foto
Kemudian perlahan bergerak ke arah pesan dan telepon,,,
Air mataku terjatuh ka,
Nama Rotuarahmi dan Indri tertera disana,
Siapa mereka ?
Ya mungkin mereka temanmu,
Tapi, saat kubaca pesan itu...
Ada kata...dinda..selalu ingat...
Apa arti kata itu semua ?
Air mataku  semakin terjatuh,,,sesak dada ini,,,
Aku tak bisa berkata apa-apa
Hanya mngembalikan semuanya dengan tersenyum
18 Agustus 2011
Saat itu kau pamit untuk pergi..
Ya, pastinya aku tak bisa melarang..
Karena itu semua adalah tugasmu. Dan akupun tak bisa ikut karena ada tugas yang harus kuselesaikan,
Selama engkau disana, hati ini semakin hari semakin sesak.
Ya mungkin karena aku sakit,
Tapi tak cukup dengan obat yang biasa ku makan
Ada apa ini ?
Aku berusaha kembali bertugas, dan disana aku bertemu denganmu,,
Aku senang...tapi air mata ini ingin sekali terjatuh,
Aku memanggilmu,,,
Tapi entah,,tak kedengaran mungkin,,,,
Hingga kau tak menoleh..
Kau kecewa...
Maafkan aku...karena aku tak berpamitan padamu,
Maafkan aku,
24 Agustus 2011
Berakhir semuanya..kau memustuskanku via sms
Kau bilang aku tak bisa menjaga nama baikmu,
Siapa yang merusak nama baik ?
Kenapa kau tak bisa menjaga nama baikmu sendiri ?
Jadi, semua kesalahanku ?
Sudahlah, itu sudah biasa. Aku tak bisa apa2…
Aku pasrah ka…
Walau sakit dan banyak sekali yang kau tinggalkan dalam diriku,
Aku harus terima,
Toh itu semua adalah kesalahanku, yang tak bisa menjaga diri dan kehormatanku,
Selamat tinggal,

WALAU SUDAH   BERAKHIR
Semua begitu aneh bagiku,
Begitu sakit..saat mendengar pengakuan perempuan lain tentang apa yang kau katakan ,
tentang diriku
kenapa kau begitu kejam ?
masalah..masalah..masalah…
itu yang terus terjadi antara kita..
kau bilang akan bertanggung jawab,,,
bagaimana mungkin ku percaya ???

Selasa, 10 April 2012


Aku Mencintaimu Saat Kau Pergi

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/